Agenda 

Sudahkah Kau Membaca Email Itu, Nathan?

Ferry Fansuri, kelahiran Surabaya, adalah travel writer, fotografer, dan entreprenur lulusan Fakultas Ilmu Budaya jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Karya tunggalnya berupa kumpulan cerpen, Aku Melahirkan Suamiku (Leutikaprio, 2017) dan kumpulan puisi Bibir yang Terikat AE Publishing(2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media. 

 

[2017-04-14,09:11] gadun dilan<dilan69@gmail.com> :

Dear Nathan,

Rangkaian kata-kata ini sengaja kubuat di detik kepergianmu, sebenarnya diriku tak begitu pandai akan hal ini. Tapi harus kukatakan lewat sepenggal kalimat dalam secarik email ini. Diriku tak rela kau pergi begitu saja setelah apa yang kita lalui bersama, kenangan-kenangan kita semasa bersama membekas dalam hati ini. Entah perasaan-perasaan menyembul begitu saja, sejak pertama kita bertemu. Detak jantungku terus bergelombang meluap dari tempatnya, tumpah ruah berserakan menunggu kau satukan kembali.

Masih kuingat saat kulihat matamu, begitu berbinar memancarkan gairah yang ingin dijamah. Kau kerlingkan matamu malu-malu menunjukkan tanda suka, pancaran itu yang selalu kuingat. Kau selalu membuatku nyaman di dekatmu, aku bisa merasakan debar jantungmu saat kau di sisiku. Masa-masa kita belajar dahulu kala, kau jadi penerang di saat aku jatuh dalam gelap. Kau jadi pendengar setiaku setiap kali aku meracau tentang keluargaku.

Kau mau mendengarkan keluhan-keluhan yang tidak mungkin didengar keluargaku. Awalnya aku tak begitu suka untuk disekolahkan di madrasah ini, kata mereka di sini aku bisa belajar agama dan menjadi pria sesungguhnya. Bayangkan dulu aku di kota menikmati ingar bingar berpindah ke kawasan pesisir yang terpencil bahkan sinyal gawai layar sentuh tidak terkunci penuh. Apalagi di sini para santri dilarang untuk membawa telepon genggam pribadi hingga tidak dapat berkomunikasi di dunia dengan alasan agar tetap konsentrasi dalam melafalkan ayat-ayat dan mengganggu dzikir bersama.

Keluargaku memang tega dengan diriku, mereka tak mempedulikan keinginan anaknya dan memaksakan kehendak. Aku benci mereka biarpun ini demi kebaikan diriku. Kata mereka harus jadi pria sejati dan jantan bukan lemah gemulai, macam banci. Aku dituduh begitu merasa meradang, aku bukan lemah gemulai atau banci seperti mereka katakan. Aku pria seutuhnya, memakai pakaian normal macam kaos, celana jeans dan sepatu canvas. Aku juga bergaul dengan teman-temanku, memang aku lebih sering bermain dengan kaum hawa. Dulu waktu kecil gemar bermain masak-masakan, dokter dan suster. Itu semua aku nikmati dan membekas dalam dirku.

Aku sebenarnya normal seperti anak pria lainnya, aku juga pernah jatuh cinta pada seorang perempuan. Mungkin dua sampai tiga kali, pertama jatuh hati ke Nadin biarpun sebatas cinta monyet dan itu berlalu begitu saja tertiup angin masa lalu. Hasrat mencintai perempuan masih berlanjut saat menempuh lanjutan sekolah menengah pertama, Yasmin gadis manis lencir kutaksir dan akan kupinang sebagai pacar pertama. Kami hanya saling pandang dan lirik saja untuk mendapatkan perhatian satu sama lainnya, semua itu akhirnya kandas. Karena bapak dan ibu melarang diriku untuk berpacaran, katanya masih anak kecil mau memadu kasih. Di sanalah aku memerah memendam amarah di saat diriku menumbuhkan kasih sayang pada lawan jenis malah dipupuskan, aku benci mereka.

Perihal mencari cinta aku tak pernah menyerah, mendekati semester terakhir hati ini berdebar-debar melihat wajah indo Mila. Gayung bersambut dengan manis, aku mampu mendekati Mila mulai jalan bareng, nonton sampai berkunjung ke rumah. Sebatas masih teman dekat, mulut ini masih terkunci untuk mengucapkan cinta. Tapi gejolak dalam dada begitu bergemuruh dan meluap-luap tak terbendung untuk mengungkapkan cinta. Tembakan ala anak cabe-cabean sudah diloloskan dari bibir ini, namun semua itu terbentur akan satu kata saja. “Aku lebih suka cowok yang nakal”, sebuah tolakan halus yang menghunjam di dada ini. Maka aku tetapkan bahwa aku benci semua wanita, pikiran mereka picik dan kerdil.

Itu semua membekas dan memberi luka mendalam tentang sosok kaum hawa, aku merasa tak bisa mencintai atau dicintai. Tapi semua itu berubah sekejap saat diri ini bertatapan akan matamu, semoga kau membaca keluh kesahku ini dan membalas emailku. Aku tunggu kedatangan dan kesediaan dirimu disini.

 

[2017-08-27,12:11] gadun dilan<dilan69@gmail.com> :

 

Hai untuk engkau yang di sana,

Aku sampai hari ini terus memikirkanmu dan tak henti-henti menunggu balasan emailmu. Tiap hari, minggu bahkan berbulan-bulan tapi kau tak membalas email-email yang kukirim kepadamu. Apa salahku padamu? Apa kurangnya bagimu? Aku selalu memperhatikan kondisimu di kala kau sakit, siapa yang peduli akan dirimu. Aku yang menyuapi makan, menjaga saat merenggang demam dan semua kebutuhan aku penuhi.

Kau datang di madrasah ini bagai setitik cahaya penerang kalbu, oase yang kering dan pelbagai kiasan yang tumbuh di matamu. Hal tersebut membuatku harus berkelahi sesama santri untuk mendapatkan dirimu, praktek mairil[1] sudah tradisi di pesantren ini jika memang engkau tahu. Entah siapa yang memulai, ini kredo purba yang tak perlu disahkan oleh majelis taklim manapun.

Diriku berdarah-darah untuk mendapatkan dirimu, aku selalu melindungi dari muka-muka beringas itu yang ingin menjamahmu. Aku tak rela jika mereka menyentuhmu karena kau milikku dan cuma aku yang boleh. Masih ingatkan sewaktu kita bersama di musala, waktu itu malam setelah kita mengaji. Aku menyentuhmu demi ritual nyempet[2] itu, kau bereaksi aneh dan bergeliyangan saat aku membelai kulitmu yang putih selembut susu. Kita begitu dekat sampai aku merasakan deru napasmu yang memburu seiring malam kembali ke peraduannya. Tak ada yang salah dalam kondisi tersebut, itu sebuah konstelasi yang tak mungkin dijelaskan atau dijabarkan. Anomali dalam cangkang kehidupan.

Hari-hari buruk di masa lalu itu terhapus seketika, entah apakah semua ini jadi dosa yang tak mungkin dibasuh air samudera sekalipun. Engkau telah datang waktu yang tepat, disaat suara-suara pembangkang itu mulai memberontak di kepalaku dan terus menghantam untuk meletakkan jiwa ini dalam kehancuran. Ini membuatku mulai berharap atau sedikit posesif bahwa dirimu menjadi masa depanku kelak dan menyelamatkanku dari sisa-sisa hidup yang membosankan ini.

Masa-masa mengenyam pendidikan yang sebelumnya tak kuinginkan sekarang jadi penyemangat. Menikmati hal-hal berisikan kebosanan berubah menjadi perasaan yang membuncah bergairah, semua itu karena kamu. Maka tolong jangan abaikan diriku, kamu selalu kunanti hadirmu disini. Peluk cium kusematkan dalam email ini, aku selalu menunggu kedatanganmu.

 

[2017-12-26,00:01] gadun dilan<dilan69@gmail.com> :

 

Kepada yang terkasih ditempat,

Tak bisa kurasakan lagi jantung ini berdetak, kebencian itu terus merangsek dan menghujam ulu hati. Aku tak bisa membedakan antara halusinasi dan kasat mata, terpurukku di sini. Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan bulan hampir melewati tahun tapi kau tak membalas satupun tulisan dalam email itu yang kukirim untukmu. Aku hampir gila merasakan ini semua, kau tidak peduli lagi akan diriku. Mungkin kau di sana tertawa riang gembira atau terbahak-bahak dengan lainnya.

Apakah kau tak mengingatkan kita lagi, kenangan yang dulu kita ciptakan? Di sini aku sendiri kesepian, setiap kumelangkah selalu mengecap wajahmu. Kucoba menghilangkan diriku dari benak tapi itu tak bisa. Selepas madrasah itu aku berpetualang dari kota sepi ke ibukota, bertemu dengan orang dan suasana baru. Tapi aku menampiknya, ada rasa yang tertinggal di sini. Mereka memandang sinis dan absurd kepadaku, tak kuhiraukan sebab percuma dan tidak berguna.

Ibukota memang memberikan apapun yang kau mau, di sini banyak item-item tersembunyi yang layak kau gali dan telusuri. Pernah kukenal pria itu kala mulai tenggelam dalam keheningan, dia setidaknya pelipur lara. Tak semirip dikau, apa salah kucoba demi menipis luka yang menganga ini. Dia mungkin lembut tapi tak seputih tubuhmu, bau dia merekah tapi tak ranum dirimu. Entah apa yang ada di otakku, ada hantu-hantu yang bergentayangan untuk membujuk berbuat gila.

Semua terjadi padaku begitu saja tanpa bisa kutolak, pledoi apa yang perlu kusiapkan agar membenarkan kelakuanku. Jiwa-jiwa itu terperangkap dalam tubuh ini, mereka mengatakan bahwa ini bukan wadahku tapi yang lain. Tapi aku tak tahu bisikan-bisikan gaib yang mengiang dalam gendang telingaku. Persetubuhan itu terulang kembali tanpa kusadari, eksepsi apa yang harus kumuntahkan. Setiap kusentuh dia, itu selalu mengingatkan akan dirimu. Napsu yang mengukung tubuh ini bukan perasaan sejati yang pernah kurasakan bersama. Terasa hampa, tak ada jantung berdetak. Hitam mengental.

Kau harus tahu apa akibatnya jika kau mengabaikan diriku, ini semua kulakukan demi dirimu seorang. Aku tak bisa berpindah hati begitu saja bak ganti celana, cuma engkau yang tertatam dalam rongga dadaku. Jangan tanya mengapa? kau tak tahu rasanya.

Ini akan jadi email terakhirku untukmu, jangan salahkan aku dengan apa yang kuperbuat. Kau menyebabkan semua ini dan itu tanggung jawabmu. Kutulis semua dengan perasaan berkecamuk menjadi satu pelampiasan yang tak mungkin kubendung lagi. Malam suram itu dalam redup rembulan, kulihat batok kepala itu di atas meja. Pria itu telah menyakiti diriku seperti dirimu, ini akibat perbuatanmu. Dia terpisah dari tubuh, tangan dan kaki. Aku cacah dan kuliti semua, kubagi dalam bungkusan plastik terpisah. Akupun menyeringai puas dan kau berikutnya. Tunggu aku.

 

 Semolowaru, Februari 2018

 

[1] Mairil adalah perilaku seks menyimpang sesama jenis yang terjadi di pesantren-pesantren tradisional di pelosok daerah Jawa Timur. Budaya tabu ini marak beredar di antara santri-santri dikarenakan tidak diperkenankan bertemu dan bertutur sapa dengan beda kelamin jika ketahuan akan dihukum berat. Korban bisa disebut mairil ini biasanya dari kalangan santri baru dengan perawakan menawan hingga jadi rebutan santri-santri senior. Hubungan “kasih sayang” ini layaknya pacaran dan sampai sekarang masih terjadi.

 

[2] Nyempet adalah aktivitas pelampisan seksual sesama jenis ketika hasrat dan gairah sedang memuncak. Dilakukan sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan orang lain atau korban.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

19 − 17 =